TRANSLITE KE BAHASA

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

[Resensi Buku] Koala Kumal - Raditya Dika #2

Perempuan Tanpa Nama 
Mengenai pertemuan tak disengaja Dika dengan beberapa perempuan yang tak dikenal sebelumnya. Namun, ternyata Dika menyimpan ketertarikan pada mereka. Hanya saja dia tidak memiliki nyali atau keberanian untuk sekedar ‘say hai’. Cuma sebatas melihat dari tempat duduknya saja.

"Apa yang terajadi seandainya gue
berani ngomong sama dia?." (Hal. 116)

Dari sekian perempuan yang membuat dia penasaran. Tiga di antaranya dia kisahkan dalam bab ketujuh ini. Seperti kisah pertama, ketika dia masih SD. Dia bertemu dengan perempuan –berambut ikal dan dikuncir– ini, di lantai dua Kentucky Fried Chicken di daerah Jakarta Selatan.

Sempat terbesit dipikiran gue untuk langsung berdiri dan menyalami
dia saja. Tapi tidak, gue tidak berani. Maka, seiring dia ke luar dari
restoran, dia tetap menjadi perempuan tanpa nama. (Hal. 119)

Kedua; di penghujung tahun 2005, dalam sebuah penerbangan dari Jogjakarta ke Jakarta. Iyah, perempuan tanpa nama selanjutnya adalah salah satu pramugari dalam pesawat yang ditumpanginya tersebut. Berbeda dari pengalaman sebelumnya, kali ini dia mencoba memberanikan diri untuk menegurnya. Tapi, ada kejadian di luar dugaan dia kejadian yang ngebuat situasinya menjadi serba salah.

“Dia (pramugari) merengut, memberikan pandangan
jijik ke arah gue. Suasana tegang.” (Hal. 129)

Terakhir, perempuan tanpa nama yang ketiga dia lihat di toko Topshop Senayan City, pada tahun 2011. Perempuan ini memiliki mata sayu, wajahnya cantik alami, pipinya tirus kemerahan. Tak beda jauh dari nasib sebelumnya; dia kembali apes.

‘Ukuran S?’ Gue celingukan ke sana-sini. ‘Seharusnya ada, sih, ya.’
‘Bisa cariin, gak?’
'Uh, gue yang nyariin?’
'Eh... Iya, kan?’ tanya dia. ‘Tunggu dulu. Loh? Mas ini bukannya..?’ (Hal. 135)

“Kadang, pada tengah malah, gue suka berfikir sebelum tidur.
Apakah di antara perempuan-perempuan tak bernama ini ada
yang seharusnya menjadi jodoh gue, menjadi salah satu perempuan
 yang membuat cerita-cerita bersama gue. Menjadi seseorang yang
punya peranan lebih daripada sekedar perempuan tanpa nama.” (Hal. 138)

Baca juga[Resensi Buku] Koala Kumal - Raditya Dika #1

Menciptakan Miko
Serial Malam Minggu Miko. Mungkin tidak asing lagi di telinga. Acara ini sudah tayang di salah satu tv swasta. Proses terbentuknya pembuatannya penuh dengan cerita suka dan duka. Mulai dari susahnya nyari pemainnya, saat pengambilan gambar, pemain telat, atau belum lagi biaya yang dia ke luarkan dari uang sendiri –sebelum ditayangkan di tv.

‘Mbak, bantuin proyek kecil-kecilan aku, ya. Acting gitu buat main di video.’
‘Soteng gitu yah, Bang?’ tanya Mbak Neni (pembantunya)
‘Iya, shooting,’ kata gue.
‘Mau, Bang, Mau! Ada Dude Herlino gak?’

Masalahnya tak berhenti di situ saja. Ketika mulai diproduksi untuk penayangan perdana di tv. Kemampuan Dika yang minim pun diuji. Bagaimana pun untuk menjadi sutradara harus bisa memecahkan masalah di lapangan. Seperti saat hujan tiba-tiba turun, skenario kadang kala harus berubah dan menyesuaikan keadaannya.

“Di balik masalah yang pasti selalu ada ketika shooting,
gue senang menyelesaikannya. Terus terang gue bangga
dengan apa yang gue lakukan di Miko.” (Hal. 160)

Lebih Seram Dari Jurit Malam
Jika mengingat bab-bab sebelumnya, Dika memang kurang beruntung dalam percintaan. Entah, diputusin, ditinggalkan pacar –karena mantannya lebih memilih laki-laki lain, atau naksir tapi tidak kesampaian untuk mengungkapkannya. Tapi dalam bab ini berbeda. Karena dia justeru yang ditaksir Lina, adik juniornya di PMR.

‘Aku lagi naksir cowok cuek, Kak,’ kata dia.
‘Terus?’
‘Gimana, sih, caranya ngedeketin cowok cuek?’
‘Siapa cowoknya? Anak PMR? Senior?’ tanya gue.
‘Ada, deh, Ka. Tapi kalau kakak mau tau, iya, anak PMR’. (Hal. 182)

Sebagai anak baru di eksul PMR, Lina harus menjalani pelantikan bersama angkatan baru lainnya. Kegiatannya berlangsung malam hari di Bumi Perkemahan Cibubur. Sudah menjadi agenda rutin disetiap proses pelantikaan anak baru akan dikerjai habis-habisan. Begitu pun yang pernah di alami Dika waktu pertama mengikut proses pelantikannya.

Jadi, ini tak beda seperti ajang balas dendam untuk mengerjai anak-anak baru. Terutama Nikolas –teman seangkatan Dika– yang amat mengebu-gebu untuk melancarkan aksinya (balas dendam, red). Obrolan antara Lina dan Dika tetap berlanjut di suasana malam yang mencekam.

‘Kakak inget botolku yang aku dulu bilang isinya malaikat? Botol itu udah ilang. Kak, jaket itu pengganti. Kakak jadi semacam malaikat buat aku.’
‘Bukannya botol itu untuk ngusir hantu? Gue jadi kayak pengusir hantu, dong,’
Lina tertawa. ‘Maksudnya bukan gitu, sih, kak. Tapi kakak ngerti, kan?’
‘Ngerti apa?’ tanya gue.
‘Gak jadi, deh’ kata Lina. (Hal. 184)

Jaket yang Lina pakai saat malam pelantikan hilang. Dia sedih dan kecewa. Baginya, jaket tersebut memiliki kenangan tersendiri bersama Dika. Di mana pada momen saat Dika memegang jaketnya.

‘Kenapa, Kak?’ tanya Lina.
Gue menggenggam jaket Lina. ‘Nikolas, lo jangan nakutin kita, deh, soalnya –‘
‘POCONGGGGGG!’ teriak Nikolas. (Hal. 180)

Iyah, padahal Lina sudah beberapa kali mencoba memberikan tanda-tanda kesukaannya pada Dika.

Patah Hati Terhebat
Each time I look at you I’m light as a cloud,
and feeling like some in love....’ (Hal. 197)

Tak peduli bagaimana cinta itu berakhir, setiap kegagal cinta pasti meninggalkan hati yang luka. Dalam bab ini menghadirkan kisah patah hati yang akan membuat dada kita sesak. Kisah itu diperoleh dari cerita cinta Trisna, teman Dika yang sangat fanatik pada buku-buku dan film Harry Potter. Sehingga pada saat mengetahui kepala sekolah sihir Hogwart itu mati, ia pun merasa patah hati.

‘Dombledore. Gara-gara dia mati, gue patah hati.’ (Hal. 188)

‘Kalau patah hati terbesar lo gara-gara manusia, pernah? Maksud gue cowok yang hidup. Bukan karakter fiktif, rekaan kayak Dombledore. (Hal. 189)

Pertanyaan Dika tidak lantas dijawab begitu saja. Namun, semenjak mendapatkan pertanyaan tersebut, memori kenangan bersama Ruben kembali hadir dalam pikirannya. Gimana perjuangan dia belajar tak kenal waktu, berusaha kerasa untuk lolos juga di tes penjaringan UGM. Mengingat Ruben sendiri sudah lebih awal diterima di sana.

‘Kalau gue gak masuk UGM gue mungkin bahkan kehilangan
love of my life. Gue ngerasa bakal nysel seumur hihup.’ (Hal. 198)

Sayangnya, ketika kerja kerasnya membuahkan hasil dan ia juga diterima di UGM. Kabar mengejutkan justeru datang di waktu yang tidak tepat.

‘Gue hanya mundur satu langkah ke belakang,
dan gue blackout. Semua hitam. Gue gak ngelihat apa-apa lagi.
 Saking sedihnya, gue pingsan.’ (Hal. 203)

Kabar apa yang sebenarnya ia dengar?, dan kenyataan apa yang ia harus terima?. Yang seakan membuat kerja kerasnya untuk diterima di UGM –agar ia bisa tetap berada di dekat Ruben– sekarang sia-sia saja. Bahkan ia dibuat trauma dalam berbacaran. 

Aku Ketemu Orang Lain
Dika tidak selalu menjalin hubungan pacaran jarak dekat. Seperti hubungan dia bersama pacarnya –yang tidak sekalipun disebut namanya (meski semua tokoh dalam bukunya menggunakan nama samaran)– dalam bab ini. Keputusan Dika untuk menimbah ilmu di negeri Kanguru (Adelaide University) membuat mereka merasakan hubungan jarak jauh. Mereka berdua awalnya sama-sama pesimis.

‘Kamu emang percaya kita bakal bisa LDR?’ tanya dia.
‘Yah,’ kata gue, menelan semua ragu yang sebenarnya terasa di dada.’ (Hal. 215)

Setidaknya pada dua tahun pertama keraguan mereka tidak terbukti. Namun, seiring dengan waktu yang semakin berlalu, hubungan mereka mulai merenggang. Mulai dari durasi telfonan yang semakin berkurang, chattingan yang tidak lagi mereka lakukan. Entah, kesibukan keduanya menghadapi tugas masing-masing, atau mereka yang tidak saling memeliharanya

“Long distance relationship bukanlah sesuatu yang gue inginkan.
Buat gue saat iut, esensi sebuah hubungan adalah dengan
adanya keberadaan orang yang kita sayang di samping kita.” (Hal. 220)

Dika memang memiliki keraguan lebih besar dibandingkan pacaranya. Sikapnya pun terkesan lebih cuek, acuh dan itu berbedah jauh dengan pacarnya yang lebih khawatir hubungannya berakhir. Namu, jika kalian beranggapan pacarnya akan patah hati?, kalian salah. Apa yang sebenarnya terjadi?, kenapa Dika yang justeru mengalami kekecewaan tuk sekian kalinya?.

Hampir separuh cerita dalam bab ini, juga banyak menghadirkan cerita Dika selama dalam pesawat bersama Zafran –laki-laki yang baru dikenalnya dalam penerbangan ke Adelaide. Karena dia duduk tepat di sebelah Dika. Obrolan yang tak kalah menarik untuk disimak (baca: ditertawai).

Koala Kumal
(Foto kanan diambil dari blognya Raditya Dika
dan sebelah kiri, dari bukunya di halaman 245)

Gue jadi teringat satu foto di situs Huffington Post. Ada seekor koala yang tinggal di New South Wales, Austalia. Koala itu bermigrasi dari hutan tempat tinggalnya. Beberapa bulan kemudian, ia kembali ke hutan tempat dia tinggal. Namun, ternyata selama dia pergi, hutan yang pernah menjadi rumahnya ditebang, diratakan dengan tanah oleh para penebang liar. Si koala kebingungan kenapa tempat tinggalnya tidak seperti dulu. Ia hanya bisa diam, tanpa bisa berbuat apa pun. Seorang relawan alam mengambil foto koala itu. Jadilah foto seekor koala kumal duduk sendirian. Memandangi sesuatu yang dulu sangat diakrabinya dan sekarang tidak lagi dikenalinya.” (Hal. 246)

"Gue tidak mau seperti seekor koala kumal
yang pulang ke tempat yang dulu nyaman untuknya,
menyadari bahwa tempat itu telah berubah,
 tetapi tidak bisa berbuat apa-apa." (Hal. 246)
***

Berlanjut ke Kejanggalan dalam Buku Koala Kumal #ulasan1
Ulasan yang kita tahu memang bagian dari resensi itu sendiri. Namun, sengaja dibuat terpisah. Alasannya tetap sama: menghindari tulisan yang panjang.



Labels: Koala kumal

Thanks for reading [Resensi Buku] Koala Kumal - Raditya Dika #2. Please share...!

0 Comment for "[Resensi Buku] Koala Kumal - Raditya Dika #2"

Back To Top